Tembang, Kebiasaan Uro-Uro, Menyanyi untuk Diri Sendiri yang Telah Punah
Pada tahun 1960-an, sebagai anak kecil, kami sering mendengar Mbah Dali menyanyikan tembang atau uro-uro saat melakukan kegiatan rumah tangga, seperti menyapu atau berkebun. Uro-uro adalah tradisi Jawa di mana seseorang menyanyi untuk dirinya sendiri. Tembang atau Lagu-lagu ini biasanya berisi pitutur luhur atau nasihat-nasihat bijak yang diwariskan secara lisan. Mbah Dali tampak sangat menikmati aktivitas ini, dan kebahagiaan serta keceriaannya begitu terasa setiap kali ia bernyanyi. Tembang tersebut seakan menjadi medium untuk menyampaikan pesan moral, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang di sekitarnya, termasuk cucunya.
Kini, setelah hampir setengah abad berlalu, kami merenungkan kembali tradisi ini. Kami menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dalam diri seseorang cenderung terungkap ke luar. Ketika Mbah Dali merasa bahagia, tenang, dan rileks, ia menyanyikan uro-uro yang menenangkan, inspiratif, dan indah. Irama tembangnya yang damai menciptakan suasana yang serupa bagi pendengarnya. Lirik-lirik tersebut masuk ke dalam pikiran dengan mudah, menjadi semacam afirmasi atau mantra yang efektif, memberikan dampak yang positif dan mendalam.
Pada masa berikutnya, dunia musik Indonesia mulai dibanjiri lagu-lagu dari penyanyi seperti Erni Djohan dan Teti Kadi. Lirik lagu mereka sangat jelas, dan musiknya hanya menjadi pengiring vokal. Hal ini membuat liriknya mudah diingat hingga sekarang. Berbeda dengan musik masa kini, di mana teknologi canggih sering membuat musik terlalu dominan sehingga liriknya sulit diingat. Lagu-lagu modern sering kali kehilangan daya lekatnya karena kata-kata dalam lirik tidak cukup menonjol atau berkesan.
Baca ini : Ketahui Lebih Dalam Mengenai Lagu Jawa Atau Tembang
Dalam sejarah manusia, lagu memiliki peran besar dalam membentuk suasana hati dan pikiran. Dalam bahasa Latin, kidung disebut sebagai “canticle”. Getaran-getaran yang dihasilkan oleh lirik berirama dapat mengubah keadaan emosi seseorang secara instan. Setiap sel dalam tubuh manusia bergetar dan memahami bahasa lagu. Ketika mendengar lagu yang indah, tubuh secara alami merespons. Bahkan, studi menunjukkan bahwa cairan seperti air pun bereaksi terhadap getaran lagu. Dr. Masaru Emoto pernah mengungkapkan bahwa molekul air membentuk kristal indah ketika mendengarkan lagu yang harmonis. Karena tubuh manusia mengandung sekitar 70% air, musik dapat memengaruhi kondisi fisik dan emosional kita secara signifikan.
Selain itu, musik tertentu dapat menjadi sarana untuk memasuki alam meditasi, yaitu kondisi di mana seseorang terhubung dengan dirinya yang paling dalam. Dalam keadaan meditasi, semua yang ada hanyalah getaran. Organ-organ tubuh manusia, yang juga dapat direduksi menjadi gelombang dan getaran, sangat responsif terhadap musik. Oleh karena itu, musik lembut yang dipadukan dengan lirik bermakna, seperti afirmasi, kidung, mantra, atau uro-uro, memiliki kemampuan untuk meresap ke bawah sadar kita dan mengubah pola pikir.
Tak heran, leluhur kita menciptakan tembang macapat yang penuh makna dan diiringi oleh gending gamelan yang lembut serta menenangkan. Kombinasi ini menciptakan suasana kedamaian yang tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga menyebar ke lingkungan sekitar. Ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat di masa lalu lebih tenang dan damai.
Lagu juga memiliki pengaruh besar terhadap detak jantung. Kita dapat melakukan eksperimen sederhana dengan mendengarkan lagu-lagu klasik atau meditatif dengan ketukan di bawah 60 per menit selama 15 menit. Setelah itu, periksa denyut nadi kita, lalu bandingkan dengan denyut nadi setelah mendengarkan lagu-lagu keras dengan beat yang cepat. Hasilnya, lagu yang lebih tenang akan menghasilkan detak jantung yang lebih lambat dan rileks. Jika pengukuran dilakukan menggunakan mesin electroencephalograph, kita akan menemukan bahwa gelombang otak pun menjadi lebih tenang saat mendengarkan musik lembut.
Pengaruh irama dan lirik juga terlihat dalam sejarah. Konon, pada masa lalu, Spanyol sejajar dengan Inggris dalam hal kemajuan dan kolonisasi. Namun, lagu-lagu Spanyol yang berirama santai seperti “Que Sera-Sera” dianggap kurang membangkitkan semangat dibandingkan lagu-lagu patriotik Inggris. Akibatnya, Inggris mampu mempertahankan dominasinya lebih lama. Hal ini sejalan dengan visi Bung Karno yang mewajibkan anak-anak sekolah menyanyikan lagu berirama mars, seperti lagu wajib dan lagu cinta tanah air, untuk membangun semangat nasionalisme.
Sayangnya, seiring waktu, kita menyaksikan pergeseran besar dalam selera musik. Lagu-lagu dengan pesan mendalam kini digantikan oleh lirik yang cenderung dangkal. Sebagai contoh, lirik seperti “Pulangkan saja aku ke orang tuaku” atau “Bang SMS Bang” tampaknya tidak memiliki kedalaman yang sama dengan tembang-tembang leluhur kita.
Melalui tulisan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada para leluhur atas kebijaksanaan mereka. Semoga kita semua dapat semakin menghargai dan menghidupkan kembali tradisi penuh makna seperti uro-uro, yang menyimpan kearifan luar biasa di dalamnya. Amin.
